MALAM itu, badan saya terasa mau rontok. Capek sekali. Pokoknya, lemah, letih, lesu, dan loyo. Soalnya baru saja tiba di Singapura dari Batam.
Dalam benak saya, nanti kalau sampai di hotel saya akan tidur sepuasnya. Tiba-tiba, Tedi, pemandu wisata yang menemani menyampaikan,”Bang, sulit dapat hotel, malam ini. Malam Minggu, sih… Saya udah kontak kiri-kanan, tapi pada penuh. Toh, kalau ada paling-paling di Geylang.”
Tampak beberapa kawan pria saling berpandangan. Sementara yang perempuan pada nyengir. “Alaaaahhh…, yang penting bisa tidur, mau di mana kek, nggak ada masalah…”
Iya, saya jadi ingat. Beberapa kawan pria yang sering ke Singapura selalu bercerita tentang Geylang. Ini adalah kawasan pelacuran di Singapura. Gara gara ingat cerita itu malah saya tertarik untuk mengetahui Geylang lebih dalam.. he he heee….
Malam itu, di Lorong 13 Geylang. Tampak beberapa orang wanita bergerombol di pinggir jalan. Dandannya begitu mencolok diterpa cahaya lampu. Dari wajahnya, dapat diduga sepertinya mereka bukan berasal dari satu bangsa. Mereka merayu pria pejalan kaki yang lewat di depannya. “Mereka itu pelacur dari berbagai negara, Bang,” kata Tedi.
Pelacuran di Singapura ternyata lebih terbuka. Mereka tidak dilokalisasikan, tapi menjajakan dirinya di pinggiran jalan, dan bahkan di tengah kota. Tak jauh dari tempat segerombolan cewek tadi, juga ada beberapa cewek seksi berdiri di pinggir jalan. Mereka mengenakan pakaian tank top. Baju bagian depan terbuka dan sedikit nampak menyembul payudaranya. “Ya, mereka kadang tak sungkan-sungkan memperlihatkan pepaya bangkoknya,” jelas Tedi sambil tertawa.
Di antara mereka terlihat membedaki wajah, ngasi roll on ke tiaknya, dan ada juga yang nyisir rambut. Setelah berdandan mereka pun merumpi sambil menunggu lelaki hidung belang yang mau menggaetnya.
Di ujung Lorong 13, seorang cewek terlihat bersandar di dinding minimarket. Ia hanya diam dengan matanya memandang jalan. Cukup lama cewek itu bertahan. Matanya terkadang melirik pembeli di pintu masuk minimarket pas di samping kirinya. “Yang itu juga pelacur,” tukas Tedi menunjuk ke arah wanita yang bermata sipit.
geilang
Inilah salah satu lorong di Kawasan Geylang
Di Singapura, pelacur seperti di atas jumlahnya ribuan orang. Kupu-kupu malam di sana berasal dari Usbekistan, Filipina, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan lokal. “Tapi kebanyakan Chinase seperti di lorong tadi,” kata Tedi.
Memang di sepanjang Lorong 13 tak kelihatan pekerja seks komersial selain Chinase. Pelacur-pelacurnya umumnya bermata sipit dan berkulit putih bersih. Mereka, warga lokal biasanya mangkal di pinggiran kiri-kanan badan jalan.
Kala malam deretan wanita berdiri di pinggiran jalan itu. Di tempat pelacuran yang sudah ada pada tahun 1819 itu tinggal milih, yang berparas cantik atau yang manis. Bila cocok bayaran langsung bisa tancap. “Di sini kalau malam ramai. Mereka akan melambai-lambai tangannya,’’ ujar Tedi.
Sebenarnya bukan hanya Lorong 13 saja, tempat mangkal cewek nakal. Lorong 10, dan 12 misalnya, adalah tempat pelacur-pelacur Indonesia yang berasal dari Kepri terutama Batam. Cuma mereka ada pada akhir pekan. Yaitu Jumat, Sabtu, dan Minggu. Sisa hari lainnya, mereka “melego jangkar” di Batam.
Mereka ini “go internasional” bukan karena sudah laris di pasar lokal. Melainkan terhimbas dari penutupan perjudian di Batam. Sejak penutupan kasino di Batam, kehidupan malam di Batam jadi mati. Warga Singapura yang biasa didampingi cewek saat mengadu nasib di ketangkasan tidak lagi ada. Akibatnya, tempat usaha keraokean, massage dan tempat hiburan lain banyak yang gulung tikar. “Makanya, pekerja seks komersial tadi banyak memilih berlabuh ke Singapura yang cukup ditempuh 45 menit saja.”
Tarif pelacur jalanan di negeri jajahan Raffles ini bervariasi. Mulai 30 hingga 80 dolar Singapura. “Untuk short time ya sekitar tiga puluh Sin dolar,” tegas seorang “makcomblang” yang mengaku bernama Jimmi (bukan si Jimmo, lho). Katanya, pelacur di sini ini sering disebut cewek aquarium. Karena kelas menengah, tarif kencan kilat cukup lumayan besar, sekitar Rp200-Rp300 ribu. Sedangkan long time sekitar Rp500-Rp800 ribuan. “Ini belum termasuk, biaya kamar hotel, Bang,” kata Jimmi. Saya bertemu dengan Jimmi pas yang malam bertemu di depan hotel Fragrance Hotel Sapphire, tempat saya menginap.
Udah, ya… selanjutnya rahasia, dong… Yang jelas, malam itu capek saya justru hilang. Malah sempat meraungi kawasan itu semalaman, he he hee…
Read More …
Dalam benak saya, nanti kalau sampai di hotel saya akan tidur sepuasnya. Tiba-tiba, Tedi, pemandu wisata yang menemani menyampaikan,”Bang, sulit dapat hotel, malam ini. Malam Minggu, sih… Saya udah kontak kiri-kanan, tapi pada penuh. Toh, kalau ada paling-paling di Geylang.”
Tampak beberapa kawan pria saling berpandangan. Sementara yang perempuan pada nyengir. “Alaaaahhh…, yang penting bisa tidur, mau di mana kek, nggak ada masalah…”
Iya, saya jadi ingat. Beberapa kawan pria yang sering ke Singapura selalu bercerita tentang Geylang. Ini adalah kawasan pelacuran di Singapura. Gara gara ingat cerita itu malah saya tertarik untuk mengetahui Geylang lebih dalam.. he he heee….
Malam itu, di Lorong 13 Geylang. Tampak beberapa orang wanita bergerombol di pinggir jalan. Dandannya begitu mencolok diterpa cahaya lampu. Dari wajahnya, dapat diduga sepertinya mereka bukan berasal dari satu bangsa. Mereka merayu pria pejalan kaki yang lewat di depannya. “Mereka itu pelacur dari berbagai negara, Bang,” kata Tedi.
Pelacuran di Singapura ternyata lebih terbuka. Mereka tidak dilokalisasikan, tapi menjajakan dirinya di pinggiran jalan, dan bahkan di tengah kota. Tak jauh dari tempat segerombolan cewek tadi, juga ada beberapa cewek seksi berdiri di pinggir jalan. Mereka mengenakan pakaian tank top. Baju bagian depan terbuka dan sedikit nampak menyembul payudaranya. “Ya, mereka kadang tak sungkan-sungkan memperlihatkan pepaya bangkoknya,” jelas Tedi sambil tertawa.
Di antara mereka terlihat membedaki wajah, ngasi roll on ke tiaknya, dan ada juga yang nyisir rambut. Setelah berdandan mereka pun merumpi sambil menunggu lelaki hidung belang yang mau menggaetnya.
Di ujung Lorong 13, seorang cewek terlihat bersandar di dinding minimarket. Ia hanya diam dengan matanya memandang jalan. Cukup lama cewek itu bertahan. Matanya terkadang melirik pembeli di pintu masuk minimarket pas di samping kirinya. “Yang itu juga pelacur,” tukas Tedi menunjuk ke arah wanita yang bermata sipit.
geilang
Inilah salah satu lorong di Kawasan Geylang
Di Singapura, pelacur seperti di atas jumlahnya ribuan orang. Kupu-kupu malam di sana berasal dari Usbekistan, Filipina, Thailand, Indonesia, Vietnam, dan lokal. “Tapi kebanyakan Chinase seperti di lorong tadi,” kata Tedi.
Memang di sepanjang Lorong 13 tak kelihatan pekerja seks komersial selain Chinase. Pelacur-pelacurnya umumnya bermata sipit dan berkulit putih bersih. Mereka, warga lokal biasanya mangkal di pinggiran kiri-kanan badan jalan.
Kala malam deretan wanita berdiri di pinggiran jalan itu. Di tempat pelacuran yang sudah ada pada tahun 1819 itu tinggal milih, yang berparas cantik atau yang manis. Bila cocok bayaran langsung bisa tancap. “Di sini kalau malam ramai. Mereka akan melambai-lambai tangannya,’’ ujar Tedi.
Sebenarnya bukan hanya Lorong 13 saja, tempat mangkal cewek nakal. Lorong 10, dan 12 misalnya, adalah tempat pelacur-pelacur Indonesia yang berasal dari Kepri terutama Batam. Cuma mereka ada pada akhir pekan. Yaitu Jumat, Sabtu, dan Minggu. Sisa hari lainnya, mereka “melego jangkar” di Batam.
Mereka ini “go internasional” bukan karena sudah laris di pasar lokal. Melainkan terhimbas dari penutupan perjudian di Batam. Sejak penutupan kasino di Batam, kehidupan malam di Batam jadi mati. Warga Singapura yang biasa didampingi cewek saat mengadu nasib di ketangkasan tidak lagi ada. Akibatnya, tempat usaha keraokean, massage dan tempat hiburan lain banyak yang gulung tikar. “Makanya, pekerja seks komersial tadi banyak memilih berlabuh ke Singapura yang cukup ditempuh 45 menit saja.”
Tarif pelacur jalanan di negeri jajahan Raffles ini bervariasi. Mulai 30 hingga 80 dolar Singapura. “Untuk short time ya sekitar tiga puluh Sin dolar,” tegas seorang “makcomblang” yang mengaku bernama Jimmi (bukan si Jimmo, lho). Katanya, pelacur di sini ini sering disebut cewek aquarium. Karena kelas menengah, tarif kencan kilat cukup lumayan besar, sekitar Rp200-Rp300 ribu. Sedangkan long time sekitar Rp500-Rp800 ribuan. “Ini belum termasuk, biaya kamar hotel, Bang,” kata Jimmi. Saya bertemu dengan Jimmi pas yang malam bertemu di depan hotel Fragrance Hotel Sapphire, tempat saya menginap.
Udah, ya… selanjutnya rahasia, dong… Yang jelas, malam itu capek saya justru hilang. Malah sempat meraungi kawasan itu semalaman, he he hee…